Sulitnya Akses Jaminan Kehilangan Pekerjaan bagi Pekerja Alih Daya, Realita yang Tak Sesuai Harapan


Sugeng Lestari, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya yang dibimbing oleh Prof. Dr. Made Warka, S.H., M.Hum

 

MERAHPUTIH BI SURABAYA - Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin meningkat di berbagai sektor industri. Di tengah kondisi ini, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) 2020 seharusnya menjadi solusi bagi pekerja yang terdampak PHK. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Sugeng Lestari, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, justru mengungkap fakta sebaliknya: akses terhadap JKP masih sulit dijangkau oleh pekerja alih daya atau kontrak.

Dalam disertasinya yang dibimbing oleh Prof. Dr. Made Warka, S.H., M.Hum., Sugeng menyoroti bagaimana regulasi turunan dari UU Ciptaker, khususnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2021, justru menghambat pekerja alih daya untuk mendapatkan manfaat JKP.

"Program ini memang dirancang untuk memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Namun, kenyataannya, syarat administratif yang berat membuat hanya sebagian kecil pekerja yang benar-benar bisa menikmatinya," ungkap Sugeng, yang lulus dengan IPK 3,73.

Salah satu kendala utama yang ditemukan dalam penelitian ini adalah persyaratan kepesertaan JKP yang mewajibkan pekerja memiliki masa kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) minimal dua tahun. Bagi pekerja tetap, syarat ini mungkin tidak menjadi masalah. Namun, bagi pekerja alih daya yang umumnya bekerja dengan kontrak jangka pendek, sering kali kurang dari satu tahun, persyaratan ini menjadi hambatan besar.

"Kondisi ini menyebabkan mayoritas pekerja alih daya tidak bisa mengakses manfaat JKP, padahal mereka adalah kelompok yang paling rentan terkena PHK," jelas Sugeng.

Ia juga membandingkan dengan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur, yang menunjukkan bahwa jumlah pekerja yang menerima JKP tidak sampai 3% dari total pekerja yang mengalami PHK. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan penerima manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang lebih luas cakupannya.

Sugeng, yang juga merupakan staf Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Wilayah Jawa Timur, menegaskan bahwa kondisi ini bertentangan dengan tujuan awal dari program JKP. "Seharusnya, jika program ini benar-benar ditujukan untuk membantu pekerja yang kehilangan pekerjaan, maka aturan-aturannya harus lebih fleksibel, bukan malah menutup peluang bagi kelompok yang paling membutuhkan," tambahnya.

Dalam upaya mencari solusi, Sugeng mengkaji model JKP yang diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang, Korea, dan Malaysia. Dari hasil kajiannya, ia menemukan bahwa sistem JKP di Jepang bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia.

"Di Jepang, JKP tidak hanya dikelola oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan kolaborasi dengan perusahaan dan lembaga jaminan sosial. Selain itu, manfaat yang diberikan tidak sekadar uang tunai, tetapi juga pelatihan dan pendampingan hingga pekerja bisa mendapatkan pekerjaan baru," jelasnya.

Namun, Sugeng juga menyadari bahwa sistem di Jepang tidak bisa serta-merta diterapkan di Indonesia. "Jumlah pekerja di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja. Oleh karena itu, harus ada inovasi lain, seperti pelatihan kewirausahaan, agar pekerja yang terkena PHK tetap bisa produktif di sektor informal," tambahnya.

Hasil penelitian ini telah disampaikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai bahan evaluasi kebijakan. Sugeng berharap ada revisi dalam regulasi JKP agar lebih inklusif bagi pekerja alih daya.

"Jika pemerintah benar-benar ingin melindungi pekerja, maka regulasi ini harus diubah. Syarat-syarat yang terlalu berat harus disederhanakan agar lebih banyak pekerja yang bisa mengaksesnya. Selain itu, pekerja juga harus lebih aktif menyuarakan hak mereka," tegasnya. (red)