Terobosan Baru Mentan Syahrul Yasin Limpo

Petani Tebus Pupuk Bersubsidi Cukup Gunakan NIK


Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. ant

MERAHPUTIH| JAKARTA-Kabar bagus bagi petani. Nantinya mereka cukup menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) agar bisa menebus pupuk bersubsidi.

 Kepastian ini disampaikan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Penebusan pupuk itu nantinya “by name by address”.

 Syahrul menjelaskan dalam surat edaran atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penebusan pupuk bersubsidi diwajibkan menggunakan Kartu Tani per 1 September 2020.

 Namun demikian, Mentan Syahrul menilai sistem penebusan pupuk bersubsidi ini akan dilakukan secara bertahap dengan menggunakan NIK terlebih dahulu, mengingat implementasi Kartu Tani di lapangan yang masih memiliki kendala.

 "Kami akan siapkan relaksasi karena dalam kondisi yang nyata, ini tidak semudah membalikkan tangan di lapangan. Saya akan coba melakukan tahapannya. Wajib tapi harus sesuai ketersediaan yang ada," kata Syahrul dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR di Jakarta, Kamis.

 Syahrul menjelaskan relaksasi yang diberikan, yakni sistem e-RDKK berbasis NIK masih digunakan dalam distribusi pupuk bersubsidi. Melalui data e-RDKK dengan sistem "by name by address' yang berbasis NIK, kualitas validasi data tersebut mencapai 94 persen.

 Penggunaan sistem ini pun mendapat apresiasi dari KPK karena pemanfaatan NIK dalam e-RDKK membuat penyaluran pupuk bersubsidi menjadi lebih objektif, tepat sasaran dan sesuai dengan aturan.

 "Dengan kerja sama penggunaan NIK dan e-RDKK, bisa langsung kita cek siapa yang memiliki dan kemungkinan salah data, antara lain pindah kependudukan, bisa terjadi dobel data dan lain-lain, bisa terkontrol dari NIK itu," kata Syahrul.

 Sebelumnya, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Thohir juga meminta agar penggunaan Kartu Tani di Pulau Jawa, Bali, NTT dan NTB pada 1 September mendatang, dapat dilakukan secara bertahap karena masih ditemukan berbagai kendala di lapangan.

 "Jangan dulu diberlakukan 100 persen, bertahap, karena petani belum siap, baik masalah sumber daya manusia, maupun masalah sinyal dan lainnya. Kalau bisa jangan dulu," kata Winarno. (red)