Rekayasa Massif Terungkap dalam Pemilu 2024: MAKI Jatim Ungkap Kecurangan Massal
Ketua MAKI Korwil Jatim, Heru Satrio dan saksi pelapor, Edy Sucipto saat konferensi pers yang digelar di Surabaya, Rabu (20/3/2024),
MERAHPUTIH I SURABAYA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jawa Timur (Jatim) dengan tegas menyoroti dugaan rekayasa massif dalam proses pemilihan calon anggota legislatif pada Pemilu 2024.
Dalam konferensi pers yang digelar di Surabaya, Rabu (20/3/2024), Ketua MAKI Korwil Jatim, Heru Satrio, mengungkapkan bahwa MAKI Jatim telah menerima beragam pengaduan terkait kecurangan suara selama empat pekan terakhir.
"Kami telah memilah laporan-laporan yang masuk dan menemukan bukti-bukti yang mendukung dugaan adanya rekayasa dalam pemilihan calon anggota legislatif," ujar Heru Satrio.
Heru menegaskan keterlibatan MAKI Jatim dalam mengawal proses demokrasi guna memastikan keadilan dan integritas dalam penyelenggaraan pesta demokrasi.
"Semangat pemberantasan korupsi harus terwujud dalam semua lini, termasuk dalam proses pemilihan umum," tegasnya.
Lebih lanjut Heru menduga ada rekayasa massif di tubuh salah satu partai besar di Surabaya. Ia juga membawa saksi pelapor dalam kesempatan ini.
"Data bukti otentik yang ada saat ini adalah mengarah pada PDIP," ujarnya.
Ia menegaskan tidak menjustifikasi partai itu. Namun pihaknya merasa miris jika tindakan rekayasa politik benar-benar terjadi lewat manuver penggelembungan perolehan suara dari C1 Plano ke DA1.
MAKI Jatim juga telah menyiapkan langkah hukum dengan mengajukan pengawalan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan prosedur yang ada.
Sementara itu, saksi pelapor, Edy Sucipto, seorang Calon Legislatif dari Dapil 3 Surabaya, menyatakan kepesimisannya terhadap integritas penyelenggara pemilu ke depan.
Edy bercerita, dalam grup WhatsApp muncul pemberitahuan tentang penggelembungan suara di TPS Kecamatan Bulak dan Sukolilo saat proses penghitungan. Di mana C1 salinan saat dipindahkan DA1 suaranya bertambah. Masing-masing TPS terjadi kenaikan suara 5-20 suara.
"Saya pikir kesalahan tulis, kalau PPK nya ngantuk di 1 atau 2 TPS mungkin nggak apa-apa. Namun begitu kita cek ternyata hampir di seluruh kelurahan yang ada di Kecamatan Bulak itu masih terjadi penambahan suara," katanya.
Edy Sucipto, telah mengajukan laporan tentang dugaan kecurangan dalam rekapitulasi suara pemilu kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Surabaya.
“Laporan tersebut sudah kami sampaikan pada hari Senin, 4 Maret 2024, ke Kantor Bawaslu Kota Surabaya,” kata Edi.
Dalam penjelasannya, Edy mengaku sudah membawa bukti kecurangan rekapitulasi suara yang diduga dilakukan oleh pihak penyelenggara tingkat kecamatan.
Kecurangan tersebut terjadi di tujuh kecamatan, tapi hanya empat kecamatan yang akhirnya dilakukan pencermatan. Hasilnya, terlihat adanya penggelembungan suara yang masif. Setiap TPS bisa 5 hingga 20 suara (kecamatan Sukolilo dan Wonocolo). Meski di dua kecamatan tersebut sudah dilakukan pengembalian suara, namun bukan berarti masalahnya selesai. Wajib diproses secara hukum.
“Ibaratnya seorang koruptor yang sudah terbukti melakukan kejahatan, lantas mengembalikan dana korupsi. Itu tidak berarti proses hukumnya selesai,” ucap Edy.
Parahnya, KPU langsung saja menggedok hasil rekapitulasi suara di beberapa kelurahan dari 3 kecamatan yang lain, yaknu Bulak, Tenggilis Mejoyo, dan Gunung Anyar.
Padahal, di kecamatan itulah banyak ditemukan penggelembungan suara, seperti di kelurahan Kendangsari, Tenggilis Mejoyo, Kutisari, dan Panjang Jiwo (Kecamatan Tenggilis Mejoyo). Juga di Kelurahan Bulak, Sukolilo Baru, Kenjeran, dan Kedungcowek (Kecamatan Bulak)
Edy menyebut bahwa dalam laporannya ia sudah melampirkan form C1 hasil dan form DA1 hasil ke Bawaslu sebagiai adanya pergeseran suara di Pileg 2024.
“Pergeseran suara ini merupakan pelanggaran pidana yang di lakukan oleh oknum Panitia Pemungut Suara Kecamatan (PPK), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 pasal 352,” kata Edy.
Sesuai pasal tersebut, lanjut Edy, setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan suara pemilih menjadi tidak sah, atau memberikan tambahan suara kepada peserta pemilu tertentu, atau mengurangi perolehan suara peserta pemilu, dapat di pidana dengan hukuman penjara maksimal 4 tahun dan denda maksimal Rp 48.000.000.
"Dalam masalah ini saya tidak pernah mau menyerang partai atau calon tertentu," tandas Edy.
Ia berharap ada klarifikasi dari pihak penyelenggara Pemilu terkait kasus ini. Sementara untuk pelaporan, Edy menegaskan bertujuan untuk memberikan efek jera.(red)