Fenomena Artis Mendapatkan Gelar Haji pada Usia Dua Bulan, Tanggapan Beragam Muncul di Media Sosial


ibadah haji di era saat ini telah mengalami pergeseran makna dibandingkan dengan zaman pemerintah kolonial. Tidak ada kewajiban seperti dahulu untuk menyematkan gelar haji pada seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji.

MERAHPUTIH I SURABAYA - Fenomena seorang artis yang mendapatkan gelar haji pada usia dua bulan ramai diperbincangkan di media sosial. Reaksi dari berbagai kalangan pun bermunculan, ada yang menanggapinya dengan serius dan ada pula yang menganggapnya sebagai hiburan semata. Fenomena ini menarik perhatian publik, mengingat penggunaan gelar haji memiliki sejarah dan makna tersendiri di Indonesia.

Dosen Ilmu Sejarah dari Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), Moordiati SS MHum, mengungkapkan bahwa penyematan gelar haji hanya lazim di beberapa negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia.

“Jadi, penyematan gelar haji ini memang memiliki makna dan sejarah tersendiri. Selain itu, penyematan gelar haji hanya ada di Indonesia dan Malaysia,” ujar Moordiati.

Moordiati menjelaskan bahwa pada masa lalu, masyarakat Nusantara yang melaksanakan ibadah haji tidak memerlukan izin dari pihak mana pun. Pelaksanaan haji pada masa itu biasanya menggunakan transportasi kapal laut yang memiliki risiko tinggi dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. “Dulu kebanyakan orang dari Pulau Aceh yang bisa berangkat ibadah haji. Orang Jawa masih sedikit karena keterbatasan modal,” tuturnya.

Meskipun berisiko tinggi, jamaah haji Nusantara memiliki ikatan kuat dengan ulama dan masyarakat Timur Tengah yang dilatarbelakangi oleh sejarah kedua bangsa. Ikatan tersebut membuat pemerintah kolonial mengkhawatirkan posisi dan kedudukannya di Nusantara. Pasalnya, para jamaah haji yang kembali dari Timur Tengah membawa semangat pergerakan dan kemerdekaan.

“Atas dasar kekhawatiran itu, pemerintah memutuskan untuk membuat peraturan tentang izin melaksanakan ibadah haji dan penyematan gelar haji untuk mewaspadai orang Nusantara yang sudah melaksanakan ibadah haji,” imbuh Moordiati.

Pemerintah kolonial mengharuskan orang yang kembali dari Makkah untuk menyematkan gelar haji sebagai penanda. Melalui peraturan itu, masyarakat Nusantara yang tidak mengikuti prosedur dari pemerintah kolonial akan diberikan denda.

Namun, ibadah haji di era saat ini telah mengalami pergeseran makna dibandingkan dengan zaman pemerintah kolonial. Tidak ada kewajiban seperti dahulu untuk menyematkan gelar haji pada seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji.

“Saat ini, tidak ada peraturan khusus tentang penyematan gelar haji. Namun karena sudah menjadi budaya, masyarakat tetap menyematkan gelar haji pada seseorang yang sudah melaksanakan ibadah haji,” terang Moordiati.

Moordiati berpesan bahwa penyematan gelar haji memang sudah lazim disematkan pada masyarakat Indonesia yang telah melaksanakan ibadah haji saat ini. Namun, ia mengingatkan agar hal itu disikapi dengan bijaksana.

“Tidak perlu memaksakan kehendak atau berlebihan dalam menuntut seseorang untuk dipanggil dengan gelar haji,” pungkas Moordiati. (red)