Magisnya Topeng Panji 'Rara Tangis Rara Jiwa' di Cak Durasim, Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Jawa Timur


Dr. (HC) Suroso, M.Si, dan Dr. Aris Setiawan, S.Sn., M.Sn. Keduanya membedah lebih dalam tentang kisah Panji pada seminar di Gedung Kesenian Cak Durasim, Surabaya, Jumat (7/3/2025).

MERAHPUTIH I SURABAYA – Suasana Gedung Kesenian Cak Durasim, Surabaya, mendadak terasa magis. Alunan gamelan berpadu dengan gerak gemulai para penari Topeng Panji, menghadirkan sebuah pertunjukan yang tak hanya estetis, tetapi juga sarat makna. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur sukses menggelar Seni Pertunjukan Topeng Panji bertajuk Rara Tangis Rara Jiwa, sebuah dramatari yang menghidupkan kembali kisah kepahlawanan dari tanah Jenggolo.

Kepala Disbudpar Jatim, Evy Afianasari, tak bisa menyembunyikan rasa bangganya atas suksesnya pagelaran tersebut.

“Alhamdulillah, pertunjukan ini begitu memukau. Gerakan tari yang diiringi musik gamelan tradisional mampu membawa ratusan penonton merasakan atmosfer sakral seni yang telah ada sejak ratusan tahun silam,” ujarnya usai pertunjukan pada Jumat (7/3/2025).

Tak sekadar hiburan, Evy menekankan bahwa pertunjukan ini adalah upaya nyata untuk mengenalkan kembali Seni Topeng Panji, khususnya kepada generasi muda.

“Kami ingin menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki kekayaan budaya luar biasa. Generasi muda harus tahu dan bangga dengan warisan budaya ini. Oleh karena itu, kami memberikan ruang agar mereka bisa lebih mencintai dan menjaga seni tradisional,” tambahnya.

Lebih dari sekadar pentas, gelaran ini juga menghadirkan seminar bertajuk Semiloka: Mengenal Epos Panji, Kenapa Gengsi? dengan menghadirkan dua akademisi terkemuka, yakni Dr. (HC) Suroso, M.Si, dan Dr. Aris Setiawan, S.Sn., M.Sn. Keduanya membedah lebih dalam tentang kisah Panji yang telah menjadi bagian dari akar kebudayaan Jawa Timur sejak abad ke-12 Masehi.

Menurut Evy, epos Panji bukan sekadar cerita rakyat biasa, tetapi sebuah karya sastra otentik yang telah menyebar hingga ke Bali, Lombok, Sulawesi, bahkan ke luar negeri seperti Thailand.

“Kisah Panji dan Angreni ini apabila dibaca kembali akan memunculkan imajinasi tentang kejayaan masa lalu. Kisah ini sarat dengan nilai edukatif, sejarah, keteladanan, kepahlawanan, kesetiaan, kearifan lokal, ekologi, politik, hingga moral,” paparnya.

Yang membuat Rara Tangis Rara Jiwa berbeda dari pergelaran Panji lainnya adalah konsep dramatari yang lebih modern dan dinamis. Di bawah arahan sutradara Lilik Subari, pertunjukan ini dikemas secara apik, kreatif, dan menggelitik.

“Kami ingin menyajikan sesuatu yang lebih dari sekadar tarian. Ini adalah bentuk apresiasi terhadap para penggiat dan pelaku budaya Panji, sekaligus upaya menghidupkan kembali ekosistem budaya Panji di Jawa Timur,” terang Evy.

Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa pagelaran ini adalah bagian dari langkah pemerintah dalam merevitalisasi kesenian Topeng Panji yang mulai meredup.

“Kami ingin mengembalikan kejayaan seni topeng ini, bukan hanya di Jawa Timur, tapi juga di tingkat nasional dan internasional,” katanya.

Terbukti, ratusan penonton yang hadir terlihat begitu antusias menikmati jalan cerita penuh intrik antara dua ksatria Kerajaan Jenggolo, Raden Panji Asmorobangun dan Raden Panji Gunungsari, yang harus menghadapi berbagai tantangan untuk merebut pusaka kerajaan yang hilang.

Dengan kemasan baru yang lebih segar, Rara Tangis Rara Jiwa tak hanya menghibur, tetapi juga menjadi jembatan bagi masyarakat untuk kembali mengenal dan mencintai budaya Panji. Ini bukan sekadar seni pertunjukan, tetapi sebuah warisan yang terus berdenyut, menjaga nyawa sejarah agar tetap hidup dalam ingatan generasi mendatang. red)